Kamis, 15 November 2012


Finger Print Solusi Akademik (?)


KONTROVERSI absensi 75 persen di kalangan siswa memang tidak lagi terdengar gaungnya. Ia seolah sudah diterima secara bulat oleh siswa sebagai sistem yang tak bisa diganggu gugat. Namun sesungguhnya masalah ini belumlah usai. Munculnya fenomena finger print atau sidik jari sebenarnya merupakan perpanjangan tangan dari polemik absensi tersebut. 
Finger print  sebenarnya bukan saja menggambarkan betapa majunya sebuah sekolah dengan teknologi. Tapi pemberlakuan finger print adalah upaya mengurangi kekecewaan pihak sekolah sendiri dengan fenomena manipulasi absen siswa atau yang biasa disebut “titip absen” yang selama ini menjadi kebiasaan. Siswa bisa mengisi absen penuh meskipun dia tidak pernah berangkat. Caranya dengan meminta bantuan ke teman sekelas untuk menandatangani absen yang digilir.

Menurut mereka kewajiban mengisi absensi 75 persen tidaklah cukup bila ternyata itu titip absen. Siswa juga harus mengikuti proses persekolahan agar transformasi ilmu pengetahuan dari dosen ke siswa menjadi lancar. Tak pelak sekarang fakultas di beberapa universitas telah menggunakan finger print sebagai alat bantu pengetatan siswa. Bahkan ada yang lebih ekstrim dengan kelopak mata. Cara terakhir ini dianggap lebih akurat dari pada finger print.  Boleh jadi.

Walaupun sudah diberlakukan, dalam praktiknya tak semua dosen menyetujui akan hal itu. Penulis sendiri sering mendengar keluhan dosen senior dan beberapa guru besar di kelas karena finger print. Baginya ketersediaan siswa ke sekolah bukan karena kesadaran menuntut ilmu. Siswa ditaklukkan dan tunduk sepenuhnya dengan finger print. Keseganan dialihkan dari dosen ke finger print. Finger print sendiri semakin memperjelas orientasi siswa yang pragmatis. Keinginan pihak sekolah untuk mentransformasikan ilmu tidak bisa begitu saja dapat dibenarkan. Sebab keikutsertaan siswa dalam sekolah hanya menuntut absen bukan mendengarkan ceramah, bertukar pemikiran dan berdiskusi dengan dosen.

Kecemasan atas pragmatisme siswa agaknya tidak berlebihan. Toh tidak sedikit siswa yang berorientasi pada nilai akhir saja. Bukan daya saing secara intelektual, “yang terpenting absensi lengkap sudah pasti nilai bagus”. Begitulah yang biasa terjadi saat ini. Karena itu menumbuhkan semangat belajar dalam diri siswalah yang seharusnya dipikirkan sekolah. Bukan pengetatan finger print  yang kelahirannya sebenarnya diperuntukkan bagi buruh dan kelas pekerja. Siswa bukan buruh pabrik mereka adalah pekerja dapur intelektual.

Di sisi yang lain meski dalam sejarah teknologi, mesin tak pernah disalahkan namun dalam praktiknya finger print sering tak bisa melacak jari siswa alias error.  Finger print juga tidak bisa melacak sidik jari palsu yang dibuat siswa. Jika sudah begini bisakah kita menyebut finger print sebagai solusi bagi akademik sekolah? Kalau memang menunjang belajar mengapa finger print tidak diterapkan di perpustakaan untuk melihat siapa yang sering datang membaca buku serta berdiskusi?

Ini layak menjadi perenungan kita bersama. Siswa seharusnya dicetak sebagai golongan yang kaya akan wacana untuk terjun di masyarakat nantinya. Kalau memang terbukti finger print tidak efektif bukan tidak mungkin seharusnya finger print diganti. Toh hal yang paling mendasar seperti ideologi dalam suatu negara pun bisa dirubah.

cr: http://kampus.okezone.com/read/2012/10/12/95/703108/finger-print-solusi-akademik


Tidak ada komentar:

Posting Komentar